Kau tahu,
dari tujuh hari aku menantikan hari Senin.
Di Hari Senin,
Aku bisa melihatmu di teras rumah sembari membaca buku Sejarah.
Sesekali kau menghitung rumus Fisika
Lalu mematuk-matukkan bolpoin ke keningmu yang ingin ku kecup.
Di Hari Senin,
Aku bisa menikmati raut wajahmu yang remang di balik temaram.
Itu raut yang kusuka, penuh teka-teki.
Dan aku ingin mencari tahu.
Di Hari Senin,
Sesekali kau membenarkan kaca mata yang melorot hingga ke hidungmu yang mancung.
Dan kau selalu mengangguk-angguk ketika ‘Dari Mana Datangnya Asmara’ diputar di radio.
Kemudian aku mendekatimu
Tapi kau terperanjat kala aku memperkenalkan diri.
Kau pun acuh mempertahankan harga diri.
Ah, namun rupanya begitu saja aku senang.
Bisa merasakan hela-hela nafas yang penuh kasih sayang.
Namun seketika aku meriang,
Dan hatiku pun mulai berdendang.
Di akhir pekan,
Aku tak bisa melihatmu yang suka bergumul dengan buku.
Sudah kukira kau pasti pergi berjibaku.
Di Hari Senin,
Aku kembali mengingat masa lalu,
Yang ingin kutelusuri satu kali lagi,
Untuk memberitahumu bahwa rindu itu pahit rasanya.
Malang, 2016