Story

Freelancer, Dunia Bahagia di Balik Remehan: Antara Mimpi dan Gengsi

Pernah tidak kamu merasa jika graduation is a gate to the jungle? Saya sempat berpikiran demikian. Nggak lain karena susahnya mencari pekerjaan di negeri sendiri kendati kalian sudah mengantongi ijazah sarjana.

Kami lulus bersama-sama, namun menempuh jalan yang berbeda. Ada yang hijrah ke ibukota, ada yang balik ke kampung halaman, ada yang ke kota tetangga, bahkan ada juga yang stay di kota waktu kuliah saking nyamannya. Waktu paling membingungkan, menegangkan sekaligus memalukan adalah saat kawan-kawan seperjuangan sudah memperoleh pekerjaan sementara kamu belum.

Beberapa bulan setelah lulus kuliah kami masih sering bertemu, entah di kafe, ataupun restoran. Sekadar untuk cerita tentang dosen, masa-masa kuliah yang panjang dan nggak lupa pertanyaan, “Kerja dimana?”

Percakapan sudah mulai memasuki tentang ranah pekerjaan, petty cash, nasabah, customer, atasan, sampai gaji.  Ada pula yang merasa bangga jika dirinya diterima di sebuah bank, kantor bonafit, unknown office yang nggak familiar di telinga sampai mereka yang memutuskan untuk melanjutkan kuliah lagi.

Lalu bagaimana dengan yang belum mendapatkan pekerjaan, even bagi mereka yang tidak mampu secara finansial untuk melanjutkan kuliah lagi? Ndempis dipojokan sambil menyimak apa yang diobrolkan tanpa tahu maksutnya. Sementara saya adalah golongan yang berada di posisi tersebut.

Antara mimpi dan gengsi

Di usia kurang dari 25 tahun saya sudah mengalami quarter life crisis. Saya tidak bisa mengendalikan diri sendiri, mudah bersedih, berpikir dalam, emosi meluap-luap sampai perasaan tidak adil. Semuanya berawal dari beragam kisah-kisah kawan yang mulai memperbincangkan soal kesuksesan mereka di dunia kerja. Tidak tahu apa motifnya, namun saat itu saya membenci mereka yang terlalu berlebihan.

Bukan iri, bukan juga dengki. Namun tepat seperti pepatah Jawa, Urip iki Mung Sawang Sinawang. Saya masih terlalu muda saat itu untuk mengetahui apa itu kehidupan dan menjadi diri sendiri, sehingga menjadi lebih mudah terbawa perasaan.

Jadilah saya berada di antara dua pilihan, antara mengejar mimpi dan membuktikan bahwa saya juga bisa bekerja kantoran. Sampai akhirnya pencarian kerja berakhir pada sebuah kantor cabang di kampung halaman. Bekerja selama tiga bulan rasanya seperti tiga tahun. Rasanya tidak begitu nyaman, semuanya penuh dengan hiruk pikuk, pertikaian, intimidasi, bully-an, dan tekanan dari banyak orang.

Di lain sisi saya jadi lebih mudah menjawab pertanyaan kawan saat bertanya, di mana saya bekerja. Mendapatkan gaji yang cukup besar bagi seorang yang tidak pernah bekerja kantor sebelumnya, dan punya ongkos kesana kemari adalah bagian positifnya. Namun saya terpaksa mengubur mimpi untuk bekerja sesuai passion hanya karena sebuah gengsi.

Berlabuh pada beberapa tempat dan kandas

Hanya tiga bulan saya bertahan di kantor lama. Kemudian memutuskan untuk hijrah kembali ke kota tempat saya menimba ilmu. Disana saya bekerja dari kantor satu ke kantor lainnya dengan beragam karakter orang.

Salah satu tempat yang membuat saya nyaman adalah ketika bisa menulis sepanjang hari dan bertemu dengan orang-orang satu misi. Namun sayangnya posisi yang menurut kita nyaman, ternyata bukanlah yang terbaik. Sedih, marah, dan bosan berkecamuk menjadi satu. Tubuh saya pergi ke kota tetangga, namun pikiran tidak tahu harus bagaimana dengan tujuan hidup ini.

Saya mendapatkan gantinya, dua tempat yang ujungnya berakhir sama. Berhenti tanpa permisi hanya karena perasaan tidak nyaman dan kurang sreg. Lalu untuk apa menerima dan jauh-jauh hijrah ke kota satunya lagi bila pada akhirnya saya memutuskan kontrak? Tepat sekali, jawabannya adalah gengsi agar disebut sebagai pekerja kantoran.

Hingga akhirnya saya berlabuh pada sebuah tempat yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya sebagai batu loncatan. Sebuah kantor web developer di kota tempat saya menimba ilmu lagi jadi pelabuhan terakhir. Sama sekali tidak mengerti bagaimana, apa yang dilakukan, berkutat dengan angka-angka, keuangan dan lain sebagainya. Maka disana saya merasa menjadi orang paling bodoh. Ditambah dengan lingkungan yang kurang kondusif dan semua yang serba begitu layaknya taman kanak-kanak berkelompok-kelompok.

Selama satu tahun bekerja di kantor web tersebut, saya terbayang-bayang bagaimana nikmatnya menulis sepanjang waktu, membagikan kisah dan berkata pada perasaan sendiri lewat tulisan. Maka saya pun merasakan untuk kedua kalinya bekerja setengah hati dengan batin yang benar-benar sulit dikendalikan.

Waktu satu tahun itu pula saya gunakan untuk merangkai mimpi-mimpi sebagai pelarian atas keinginan yang tidak tersampaikan. Menulis langkah-langkah selanjutnya untuk kembali merajut keinginan di masa mendatang dan semua hal yang ingin saya lakukan jika sudah menyelesaikan kontrak di sini. Seperti terjebak dalam sebuah sangkar, meski tahu bagaimana jalan keluarnya

Dukungan juga datang dari beberapa orang terdekat untuk keluar dari kantor dan kembali mengejar apa yang saya inginkan. Teman-teman yang mengerti bagaimana saya sesekali mengajak ke warung kopi untuk bercerita bahwa mereka juga berada situasi yang sama. Kantor yang penuh kacau balau, dan semua hal yang membosankan. Maka, Oktober 2017 adalah waktu yang saya tunggu untuk melangkah sejauh mungkin dengan keputusan sendiri, dan semua risiko yang sudah saya pikirkan dengan matang-matang.

Bukan hanya soal kepuasan batin, namun bagaimana mengambil keputusan berani demi penghidupan lebih baik. Saya membuka lembaran baru dengan passion yang sudah saya tinggalkan dalam jangka waktu lama, menjadi seorang penulis lepas…

 

You may also like...

2 Comments

  1. Hi Indah, happy to read your new post!
    Yuk ngeblog lagi, lakukan apa-apa yang kamu suka.
    #spreadlove
    tak tungguin postingan barunya

    1. indahhikma says:

      Thank you suhu…
      Mari berbagi cerita
      #spreadheart wkwkwkwkwk

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *