Culture

Painting and Photography Exhibition, Pamerkan Banyuwangi Dalam Satu Kanvas

Sebagai kota yang terletak ujung timur Pulau Jawa, dahulu Banyuwangi hanya menjadi kawasan persinggahan. Wilayahnya yang dinilai gersang pada waktu itu menjadikan wisatawan enggan untuk mampir. Namun, kini daerah yang dijuluki Kota Gandrung ini kembali bangkit setelah dalam kurun waktu satu dekade mati.

Pembangunan di setiap daerah dan pelosok merata, sehingga memungkinkan bagi para wisatawan untuk menilik kealamiannya. Ragam tempat wisata mulai dibangkitkan sebagai salah satu sumber pendapatan dan memanjakan para traveler yang singgah sebentar sebelum bertandang ke Bali.

Panorama alamnya yang masih asri, deretan pantai berpemandangan Pulau Bali, jajaran pegunungan di sebelah barat, hingga pedesaan yang masih tradisional menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang datang. Selain mengelola tourism object, kebudayaan Osing juga makin digalakkan.

Kini kota yang tadinya hanya jadi persinggahan, jadi tempat tinggal ideal untuk kamu yang bosan dengan hiruk pikuk perkotaan. Puluhan festival mulai dijalankan sebagai wadah untuk melestarikan budaya daerah khususnya yang ada di Banyuwangi.

Event yang digelar dari mulai Januari hingga akhir tahun tersebut gemanya juga sudah sampai ke mancanegara. Tidak heran bila ada banyak turis asing yang memilih tinggal di Banyuwangi untuk belajar tentang sejarah, budaya dan menilik keindahan alamnya.

Salah satu event yang termasuk dalam rangkaian festival yang ada di Banyuwangi yakni Painting and Photography Exhibition 2018. Pameran lukisan dan fotografi ini menjadi wadah bagi para seniman asal Kota Gandrung dan penikmat dari seluruh Indonesia bahkan mancanegara. Acara diselenggarakan di Gedung Wanita Paramita Kencana, depan Alun- – alun Blambangan itu dibagi ke dalam dua bagian.

Photography Exhibition

Saya selalu penasaran dengan event rutin yang diselenggarakan di Banyuwangi, mulai dari inovasi apa, bagaimana proses pengerjaan dan jalannya kegiatan, filosofi apa yang ditonjolkan, serta masih banyak lagi lainnya. Pun saat tahu bahwa pameran lukisan dan fotografi digelar di dekat rumah, tanpa ragu langsung meluncur ke lokasi.

Di area masuk, tamu disambut dengan gate yang bertuliskan Painting and Photography Exhibition 2018 yang terbuat dari bambu. Masuk ke dalamnya, langsung disuguhkan dengan beberapa stand yang menampilkan foto-foto karya fotografer profesional.

Saya memutuskan untuk mengamati stand pondok yang akan digunakan untuk seminar kala itu. Di sana sudah berjajar karya-karya apik yang lebih menonjolkan pada kondisi masyarakat Banyuwangi dan beberapa festival yang pernah digelar.

Sebagai salah satu kota budaya,  karya – karya fotografi tidak lepas dari kebudayaan asli seperti Osing, kebiasaan masyarakatnya, sampai kondisi geografis yang mendukung terciptanya suatu culture. Seperti masyarakat pedesaan yang ada di Indonesia termasuk Banyuwangi menggunakan kompor tungku untuk memasak. Mereka memanfaatkan kayu sebagai bahan bakar utama. Bara api akan semakin membesar dan bisa digunakan untuk menanak nasi serta lauk pauk apabila ditiup dengan perantara bambu atau di sini disebut juga dengan serotong.

Memasak dengan tungku

Kebiasaan ini sesuai dengan kondisi geografis masyarakat pedesaan yang jauh dengan perkotaan. Hal tersebut juga sebagai salah satu cara untuk menghemat bahan bakar dan kata orang Banyuwangi memasak dengan tungku akan menghasilkan masakan yang lebih enak.

Pada foto lainnya juga tampak para tetua suku Osing Banyuwangi yang masih melakukan kebiasaan nginang. Dahulu kala, cara ini digunakan untuk memutihkan dan memperkuat gigi. Habit yang telah dilakukan secara turun temurun ini kemudian menjadi salah satu budaya menarik.

Budaya nginang

Pada koleksi jepretan lainnya, terpampang pula beberapa festival yang pernah diselenggarakan di Banyuwangi, seperti Tour de Ijen yang menampilkan aksi bersepeda para atlet seluruh dunia menuju ijen, petik laut, hingga perahu-perahu besar nelayan di Muncar yang menjadi pemasok ikan terbesar di Jawa Timur.

Tour de Ijen

 

Gandrung Sewu

Tidak puas dengan koleksi tersebut, saya juga menilik ke deretan papan-papan yang menampilkan koleksi jepretan unik dari seantero Banyuwangi. Salah satu yang lagi-lagi memikat hati yakni momen Petik Laut yang beberapa bulan lalu diselenggarakan di belakang rumah, tepatnya Pantai Boom.

Petik Laut Pantai Boom

 

Tetua Suku Osing

 

Pertunjukan teater Sujiwo Tedjo

 

Tetua Suku Osing dan Rumah Adat Banyuwangi

 

Permainan tradisional anak-anak Banyuwangi

Beranjak ke sebelah selatan, pengunjung disuguhkan dengan deretan foto tentang kebiasaan, tradisi serta deretan obyek wisata yang mengagumkan di bumi Blambangan. Puas dengan deretan pameran fotografi yang sudah mulai dipenuhi oleh pengunjung, saya langsung menuju ke dalam gedung tempat pameran lukisan digelar.

Painting Exhibition

Masuk menuju lokasi pameran lukisan, saya disambut oleh beberapa seniman asal Banyuwangi yang asik bercengkarama. Seperti biasa, usai mengisi buku tamu lalu dipersilahkan menilik hasil karya mereka. Namun sebelumnya, pengunjung bisa membeli buku panduan yang menunjukkan seluruh informasi setiap lukisan yang dipamerkan seharga 10 ribu rupiah.

Baru masuk ruangan pengunjung langsung disuguhkan dengan deretan lukisan menawan dari para seniman Banyuwangi. Ada beragam tema gambar yang diangkat mulai dari pemikul belerang di ijen, gandrung Blambangan, abstrak, politik, seblang, dan masih banyak lagi lainnya seperti pada beberapa yang berhasil saya jepret berikut ini.

Impresi Gandrung oleh Ilyasin (acrylic on canvas)

 

Mimpi

 

Tari Rejang Dewa oleh Nyoman Kandika (oil on canvas)

 

Nenek Cantik oleh Joko (oil on canvas)

 

Asal Usul Barong oleh Gunawan Istiadi (drawing pen on paper)

Tidak hanya lukisan, jajaran patung berukuran besar hingga terkecil dan keris juga dipamerkan dalam exhibition kali ini. Mengingat keris menjadi salah satu senjata masyarakat Jawa di masa melawan Belanda, benda antik tersebut dipercaya memiliki kekuatan magis.

Keris oleh Krt. H. Ilham T.

Di Banyuwangi sendiri masih banyak kolektor keris. Menurut cerita yang ada, keris-keris tersebut harus dimandikan setiap malam satu suro dengan dilengkapi oleh dupa, serta sesaji. Mereka yang tinggal di dalam senjata tersebut dipercaya bisa membantu tuannya atau bahkan membuat celaka.

Patung lainnya yang memikat saya yakni Penari Gandrung karya seniman Suhartono. Sebagai salah satu karakter ikonik Banyuwangi, Gandrung memang wajib ada dalam setiap festival, gelaran maupun pameran yang ada di bumi Blambangan.

Kini Banyuwangi tidak sekadar dikenal sebagai Kota Santet, namun telah dijuluki sebagai The Sunrise of Java yang ramah akan wisatawan. Saya sudah menjelajahi Banyuwangi, kamu kapan?

You may also like...

5 Comments

  1. Keren liputannya mbak.

    1. Aih ini dia mas senimannya. Bukuin dong mas komik-komiknya. Mengingatkan pada Wiro Sableng, Ko Ping Ho, dll.

  2. Gunawan istiadi says:

    Iya mbak lain waktu di bukuin komiknya.kebetulan pas googling kok nemu artikel yang mbak indah liput soal pamerannya.

    1. Wah, sukses mas komiknya.
      Wkwkwk, kirain nggak ada yang nemuin postingan ini.

  3. Gunawan istiadi says:

    Amiiiiiiniya,alhamdulillah ada yg nemuin postingannya.tetap semangat menulis ya mbak?

Leave a Reply