Story

Freelancer, Dunia Bahagia di Balik Remehan: Suka Duka Jadi Penulis Lepas

Memutuskan suatu hal yang dirasa bertentangan dengan pandangan orang itu susah. Namun tidak ada yang paling menakjubkan selain menerobos itu semua dan menjadi diri sendiri. Ada masanya bingung dengan apa yang diinginkan. Namun ada pula yang sudah mantap sedari awal. Tapi mereka juga tidak akan luput dengan adanya batu sandungan, baik diuji melalui konsistensi, semangat yang mulai surut atau bisa juga yang lain.

Menjadi penulis lepas begitu asing di telinga masyarakat. Apalagi saya yang tinggal di daerah perkampungan yang notabene masyarakatnya sibuk bekerja sebagai nelayan, sehingga mereka menganggap pekerja kantoran lebih wah dibanding yang terlihat tidak bekerja. Saya memahami itu.

Tidak hanya masyarakat di lingkungan saya, namun itu semua sudah menjadi stereotype di social life. Jadi ketika saya memutuskan untuk mengambil proyek freelance dengan bekerja di dalam rumah sembari apply pekerjaan lainnya, saya mengalami hal begini:

Ah, cuma pembelaan sebenarnya nganggur

Menurut saya pribadi,  ide itu datangnya justru pada malam hari. Saya lebih nyaman bekerja di waktu tersebut ketimbang pagi, siang atau sore. Ya, selain karena ibu yang minta tolong untuk mencucikan baju, bersih-bersih rumah atau antar ke pasar, di waktu terang berasa kurang afdol saja.

Jadilah saya gunakan malam hari untuk bekerja dan pagi untuk tidur. Tolong jangan tiru tindakan tidak terpuji ini, ya hehe. Bangun tidur kuterus beli makan, dan di sanalah ibu-ibu bertanya,

“Indah sekarang di rumah terus ya? Nggak kerja?” Saya memutar otak bagaimana caranya menjelaskan kepada mereka agar lebih mudah mengerti.
“Iya sekarang di rumah aja sambil menulis online.”
“Maksutnya gimana?”
“Jadi saya ngisi tulisan di beberapa situs dan digaji tiap bulannya.”
“Oh gitu”

Di titik itu saya tidak yakin dengn “Oh gitu” mereka paham. Saya tahu istilah digital, freelance, dan dunia modern ini agak susah dimengerti dan dipahami oleh mereka yang jarang atau sama sekali tidak berkutat dengan teknologi, internet, atau minimnal smartphone.

Pertanyaan semacam itu dilontarkan kepada saya beberapa kali dan saya juga berkali-kali menjelaskan dengan bahasa yang familiar. Namun sayangnya justru ada yang bilang, “Wah kuliah jauh-jauh tapi pulang ke rumah dan nganggur.”

Lainnya bilang, “Iya katanya kerja di rumah. Kerja apa, mana ada orang kerja di rumah kecuali nganggur. Pembelaan aja, padahal nggak kerja”

Gimana? Netizen sekarang jahat ya? Begini, sekeras apa pun dijelaskan jika memang mereka tidak mengerti, dengan apa lagi saya bercuap-cuap? Tidakkah sebaiknya saya cukup diam dan terus berkonsentrasi menulis sambil siul-siul kalau gajian sudah tiba?

Banyak yang memberikan info lowongan kerja

Sedih saya tuh saat banyak orang yang memberikan informasi lowongan kerja, jobfair dan lain sebagainya. Saya memang terlihat menggunakan bebidol setiap hari di rumah, bangun siang dan wajah tanpa makeup. Tapi ada satu hal yang bikin saya makin tersayat-sayat.

Sore hari setelah saya beristirahat sejenak usai mengecek email masuk dari klien, saya duduk sebentar di teras rumah. Tiba-tiba ada mas-mas muda dari merk yogurt berhenti di depan rumah.

“Halo mbak, kesibukannya apa nih? Ini saya ada penawaran pekerjaan sebagai ibu Ya**lt khusus untuk ibu-ibu yang udah punya anak minimal 2 tahun, “ katanya sembari memberikan selebaran.

Kaget dong ya saya karena tidak pernah tahu orang tersebut sebelumnya. “Nggak sibuk mas, biasa aja. Apaan nih mas saya nggak paham”

 “Sekarang mbaknya sibuk apa?”
“Kerja mas.”
“Dimana?”
“Freelancer mas.”
“Freelancer? Apa tuh? Gimana tuh?”
“Ya nulis mas di web gitu atau media”
“Oh gitu, saya kira mbaknya udah berumah tangga tapi belum bekerja. Makanya saya samperin.”

Astagaaa, jadi selain dikira pengangguran juga dikira ibu-ibu dan ditawari buat jualan yogurt. Penulis lepas tidak punya kantor. Tempat bekerjanya cukup di area disukai dan di depan laptop. Sementara mereka tidak punya pakaian dinas atau pun seragam.

Itu sepenggal kisahnya. Ada pula yang getol memberikan informasi lowongan pekerjaan kepada saya melalui WhatsApp. Ada juga yang mengatakan, “Udah coba aja, siapa tahu rezekinya, semoga berhasil ya”.

Baiklah, saya tidak ingin membuat mereka kecewa. Saya tetap menghargai mereka yang berbaik hati memberikan informasi lowongan pekerjaan. Itu artinya mereka masih peduli, bukan? Setidaknya saya harus menerima yang telah mereka usahakan meski saya tidak benar-benar apply.

Kasian ya, apalagi dia cuma Freelance kerjanya

Apa? cuma freelance?

Wah, kalau sudah seperti ini sepertinya saya tidak cukup membeberkan dengan deskripsi namun juga hitungan matematis terkait pendapatan seorang freelancer. Begini kawan, alur kerja dari penulis lepas itu berbagai macam. Apalagi kini sudah banyak tersedia platform untuk para freelancer, seperti Sribulancer, Projects.co.id, Glasdoor dan masih banyak lagi lainnya.

Nah di situs tersebut para klien mengunggah ragam pekerjaan freelance mulai dari desain web, logo, social media marketing, data entry, tulis menulis, penerjemah, serta buanyaaak sekali job yang bisa dipilih sesuai dengan kemampuan, skill dan portofolio. Jika sudah membuat akun, boleh ditambahkan portofolio, pekerjaan apa saja yang sudah diselesaikan baik berupa attachment ataupun link.

Setiap klien mengunggah pekerjaan disertai dengan deskripsi, rules dan tarif. Dan tahukah kamu bila tarif penulis lepas itu bisa dihargai mulai dari 50 ribu hingga 3 juta, 5 juta bahkan lebih per proyeknya. Tergantung berapa artikel dan lamanya.

Selain menggunakan jasa platform, biasanya proyek juga didapatkan dari teman ke teman. Karena saya pernah bekerja di media online sebelumnya, dan memiliki teman yang berprofesi sebagai blogger, programer yang sedang menjalankan startup baru, editor, sesama content writer dan kami yang ada dalam satu bidang, jadilah mereka saling berbagi pekerjaan freelance. Kami sering berkomunikasi.

Sementara untuk startup biasanya mereka meminta proyek jangka panjang, sehingga sistem fee setiap bulan seperti bekerja kantor tapi tetap mengerjakan di rumah. Ada yang hanya meminta beberapa hari, satu bulan, tiga bulan bahkan satu tahun. Tergantung dari permintaan klien.

Nah, jika tidak menggunakan jasa platform saya punya rate tersendiri untuk setiap penawaran artikel. Dimulai dari harga 10.000 ribu rupiah hingga ratusan ribu untuk per artikelnya tergantung dari kata, rules dan topik yang diminta. Belum lagi jika artikel travel, jurnal ilmiah dan SEO yang bisa dihargai berlipat lipat kali.

Jadi, bisa bayangin kan bagaimana asiknya bekerja menggunakan piyama tapi tetap digaji?

Mulai dibuat perbandingan

Perbandingan adalah hal yang lumrah di social life. Kamu kerap dibandingkan dengan tetangga sebelah yang punya ijazah sama atau mereka yang seumuran tapi sudah menikah dan memiliki momongan. Itu juga yang terjadi pada saya.

“Kerja apa sekarang?”
“Di rumah aja pak”
“Kamu sama si A kan kuliahnya bareng ya? Tapi dia udah kerja di kantor Biru.”
“Oh ya kah? Iya mungkin pak”
“Kenapa nggak kerja disana juga. Kan nanti bisa seperti si A yang udah bisa nyicil motor dan rumah baru”

(Di sana saya merasa, apaan sih?)

Sepertinya saya tidak perlu lagi menjelaskan berapa gaji saya dengan asik tiduran sambil nonton drakor. Sebab percuma saja menjelaskan dengan berbagai macam cara, itu akan membuang-buang waktu dan tenaga. Bukankah lebih baik saya menyelesaikan deadline sembari memikirkan langkah apa selanjutnya yang ingin diraih?

Ah, kalau nulis dan nerjemahin sih kita bisa

Baiklah saya setuju dengan pernyataan tersebut. Saya tahu semua orang bisa menulis, namun bagaimana caranya membuat tulisan seindah dan dapat mudah dimengerti itu yang sulit. Menurut saya, menulis artikel berbeda dengan menulis puisi dan fiksi.

Saat menulis artikel saya bertanggung jawab kepada semua orang. Tulisan saya diunggah secara online yang artinya dibaca oleh manusia seluruh dunia. Maka dengan begitu saya harus menyajikan dengan benar, easy to read, dari sumber capable, tidak comot atau copy paste dari bacaan lainnya, dan yang terpenting no hoax.

Dengan begitu saya lebih memikirkan topik apa, sumber dari mana, relasi antara paragaraf satu dan lainnya, detail kata serta hal kecil seperti typo dan tanda baca. Semua berdasarkan pemikiran matang dan benar-benar apa yang ada.

Namun bukan berarti saya tidak memikirkan saat menulis puisi dan fiksi. Hanya saja, poem and fiction lebih mudah ditulis karena tidak perlu sumber. Semua tergantung inspirasi, ide, dan apa yang tengah melanda hati, sehingga lebih mudah dituangkan.

Sementara itu soal menterjemahkan, saya pernah menawarkan pada kawan-kawan di grup perihal jasa ini. Namun dengan lantang salah satu dari mereka mengatakan,

“Yaelah, kalau cuma nerjemahin aja sih kita bisa kali.”

Waduh kawan, saya kan cuma menawarkan pada yang mau. Jika tidak pun tidak apa-apa. Saya kan juga mencari rezeki dengan membuka jasa penulisan dan terjemahan. Lagipula nih, ada lho beberapa klien yang meminta untuk improve terjemahan.

Mereka tidak mau jika hasilnya kaku dan terlihat tidak luwes. Kendati demikian, kaidah translation and interpretation tetap harus ditaati agar tidak melenceng. Jadi tidak hanya butuh teknik menerjemahkan tapi juga writing skill yang baik. Bukan berarti kemampuan menulis saya bagus lho ya, hanya saja mari menghargai pekerjaan masing-masing orang.

Setiap orang punya alasan tersendiri untuk memilih pekerjaan mana yang membuatnya nyaman. Saya tidak setuju dengan mereka bilang, “keluarlah dari zona nyaman agar bisa terus maju”. Tapi sebenarnya mereka pun mencari zona nyaman, bukan?

Kendati banyak sekali pihak yang meremehkan dan mencemooh saya karena ‘hanya’ bekerja begini. Namun ada banyak hal yang bisa saya dapatkan, yakni dekat dengan keluarga dan punya banyak waktu untuk meraih step selanjutnya, seperti impian mengurus rumah dan suami sendiri saat menikah, melanjutkan pendidikan kembali, mau lanjut kerja kantoran juga bisa. Freelancer is very flexible.

Have a nice day!

You may also like...

Leave a Reply